Dampak Media Sosial Terhadap Kesehatan Mental
Mama pernah merasa cemas dan tidak percaya diri setelah membuka media sosial? Terutama setelah melihat seseorang yang "terlihat" lebih menarik. Entah itu wajahnya, postur badannya, merk pakaian dan aksesorisnya, gaya hidupnya, pekerjaannya, atau keharmonisan keluarganya. Semua terlihat lebih bagus dan menyenangkan. Tapi pernahkah berpikir bahwa semua yang kita tunjukkan di media sosial juga yang terbaik dari diri kita? dan sangat mungkin kalau orang lain juga berpikir bahwa kehidupan kita jauh lebih baik dari mereka. Inilah dampak pertama dari media sosial yaitu timbulnya rasa tidak percaya diri karena merasa dirinya tidak sebanding dengan orang yang dilihatnya di media sosial. Jika terjadi terus menerus, rasa tidak percaya diri tersebut dapat menimbulkan kecemasan yang berdampak pada kesehatan mental.
Media sosial atau medsos merupakan wadah untuk bersosialisasi secara online yang memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu. Pengguna medsos sendiri ada beberapa jenis, yaitu:
1. Unplagged/jarang/hampir tidak pernah menggunakan media sosial. Sebagian besar interaksi sosialnya terjalin secara langsung tanpa bantuan teknologi.
2. Diffuse dablers/concentrated dabblers. Keduanya merupakan pengguna yang sambil lalu. Interaksi media sosialnya hanya sekitar 50%. Diffuse dablers sendiri merupakan pengguna yang menggunakan banyak platform media sosial. Sedangkan concentrated dabblers adalah pengguna yang hanya konsentrasi pada satu platform media sosial saja.
3. Connected/terhubung. Pengguna medsos ini punya intensitas yang tinggi baik di satu atau banyak platform.
4. Wired/tidak terlepas. Penggunanya akan mengalami problematic social media used atau ketergantungan media sosial.
Dampak media sosial pada kesehatan mental diantaranya adalah:
1. Menimbulkan idealized body image atau beauty standard. Setiap orang membuat standar kecantikan atau ketampanan sesuai dengan apa yang sering dilihat di medsos. Misalnya, yang cantik adalah yang wajahnya putih, kulitnya mulus, badannya langsing, rambutnya lurus, tinggi semampai, dan lain lain. Padahal defisini cantik itu tidak hanya secara fisik.
2. Munculnya rasa fear of missing out (FOMO). Kita jadi merasa takut kalau melewatkan berita terkini. Khawatir tidak diterima di lingkungan pertemanan karena tidak update berita terbaru.
3. Menyebabkan addiction/ketergantungan. Banyaknya likes, comments, atau viewers di foto atau video yang kita bagikan di medsos sudah pasti membuat penggunanya senang. Otak secara otomatis akan mengeluarkan hormon dopamine atau hormon kebahagiaan. Hal ini tentu saja membuat banyak orang merasa ketagihan. Sayangnya, jika yang terjadi adalah sebaliknya maka akan menimbulkan rasa kecewa.
4. Menimbulkan pemikiran bahwa media sosial lebih penting dari kehidupan nyata. Hampir semua aktivitas sehari-hari dilakukan sambil membuka media sosial.
5. Menjadikan media sosial sebagai stress coping mechanism atau pelarian saat ada masalah. Tidak jarang kita jumpai di media sosial bertebaran status yang menjadi wadah untuk mencurahkan hati yang sedang sedih atau kecewa. Hal ini dapat membuat pengguna lain menjadi tidak nyaman. Bahkan bisa makin memperkeruh masalah jika disalahartikan oleh orang yang melihatnya.
Di media sosial juga kerap terjadi cyber bullying dan pelecehan seksual. Hal ini menjadi "momok" yang menakutkan bagi pengguna media sosial. Sebuah studi dalam American Journal Public Health mengungkapkan bahwa cyber bullying dan pelecehan di dunia maya menjadi alasan meningkatnya risiko tindak bunuh diri. Peneliti menemukan, korban cyber bullying dilaporkan 2x lebih mungkin mencoba bunuh diri ketimbang mereka yang bukan korban. Sementara, untuk para pelaku kemungkinannya sebesar 1,5x lebih tinggi dibanding korban atau bukan pelaku. Studi lainnya yang diterbitkan dalam Journal of Abnormal Psychology mengemukakan meningkatnya angka depresi remaja di Amerika Serikat hingga lebih dari 60% salah satunya dipicu karena media sosial.
Untuk menilai apakah kita ketergantungan media sosial atau tidak, kita bisa menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini:
1. Apakah kita menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan media sosial?
2. Apakah kita merasa ada dorongan untuk menggunakan media sosial secara terus menerus?
3. Apakah kita menggunakan media sosial untuk melupakan masalah personal?
4. Apakah kita sering berusaha untuk mengurangi penggunaan media sosial tapi tidak berhasil?
5. Apakah kita merasa terganggu ketika tidak bisa menggunakan media sosial?
6. Apakah kita menggunakan media sosial terlalu sering sehingga memberikan dampak negatif pada kehidupan kita?
Jika ada 3 atau lebih jawaban "Ya" pada pertanyaan di atas, itu tandanya kita sedang mengalami ketergantungan media sosial.
Untuk mengatasi ketergantungan media sosial, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Social media detox dengan membatasi atau mengurangi waktu untuk menggunakan media sosial. Beberapa ahli merekomendasikan untuk tidak menggunakan media sosial lebih dari 2 jam sehari. Pada beberapa platform sudah disediakan fitur pengingat harian untuk membatasi penggunaan media sosial. Kita bisa mengaturnya sesuai dengan jumlah waktu yang disarankan, ketika sudah mencapai batas waktu yang kita tetapkan maka akan muncul notifikasi. Kita juga bisa memantau rata-rata waktu penggunaan media sosial selama 7 hari terakhir.
2.Memilih konten yang positif dan membangun. Jika menemukan konten yang membuat tidak nyaman, lebih baik segera tinggalkan.
3. Menyeimbangkan dunia maya dengan dunia nyata. Isi waktu luang dengan aktifitas yang lebih bermanfaat. Misalnya berolahraga, bergabung menjadi pengurus organisasi, ikut kajian keagamaan, menjadi relawan, membangun bisnis, dan lain sebagainya.
Pada intinya, menggunakan media sosial boleh-boleh saja. Asalkan bijak dan paham batasannya. Kita bisa memanfaatkan media sosial untuk hal-hal yang positif, misalnya untuk berbisnis, untuk menjalin tali silaturahim, atau untuk berbagi ilmu.
Komentar
Posting Komentar